News

STEM Projects Mempersembahkan Pameran Tunggal Tiga Seniman Berbakat: Aurora Santika, Hudan Seltan, dan Revaleka
Merajut Jalinan Antara Keunikan dan Kreativitas: Eksplorasi Ajaib di Balik Tiga Ekspresi Seni yang memukau di STEM Projects STEM Projects dengan bangga mempersembahkan tiga pameran tunggal yang menggabungkan keunikan dan kreatifitas Aurora Santika “Dreamscape Anthology”, Hudan Seltan “Find a Job, Find a Friend, Find a Home, Find a Dog, Settle Down, Out of Town, Find a Dream, Shut It Down”, & Revaleka “Past Future Tense”. Ketiga pameran ini mengajak pengunjung untuk meresapi keindahan dan kompleksitas interaksi antara isolasi dan koneksi di era digital. Tampak Instalasi Pameran Aurora Santika “Dreamscape Anthology”. Foto Milik STEM Projects “Dreamscape Anthology” oleh Aurora Santika menghadirkan antologi visual tentang permasalahan manusia masa kini dengan sentuhan fiksi. Dengan 13 karya akrilik di atas kanvas, Aurora menciptakan alam mimpi yang dihuni oleh karakter-karakter seperti putri, pangeran, penyihir, dan makhluk gaib. Lukisannya memberikan kesan nyaman dan koheren, mengajak penonton merenungi kepahitan dunia nyata. Tampak Instalasi Pameran Hudan Seltan “Find a Job, Find a Friend, Find a Home, Find a Dog, Settle Down, Out of Town, Find a Dream, Shut It Down”. Foto Milik STEM Projects Dalam pameran “Find a Job, Find a Friend, Find a Home, Find a Dog, Settle Down, Out of Town, Find a Dream, Shut It Down”, Hudan Seltan merangkai 15 karya baru berbahan akrilik di atas kanvas. Dengan gaya seni lembut berwarna pastel, Hudan memperlihatkan momen-momen intim anak muda masa kini, menciptakan suasana seperti mimpi dengan ilusi transparan. Melalui penggambaran ruang publik dan privat, Hudan menciptakan ketegangan yang menantang batas-batas konvensional, sambil mengeksplorasi hubungannya dengan media sosial. Tampak Instalasi Pameran Revaleka “Past Future Tense”. Foto Milik STEM Projects Revaleka, seniman muda asal Bandung, menghadirkan “Past Future Tense” sebuah refleksi tentang nostalgia dan pengaruhnya terhadap masa kini dan masa depan. Lukisannya yang menggambarkan ruang-ruang rumah dengan furnitur kuno membangkitkan kenangan keluarga di tahun 80-an. Distorsi figur dalam karya-karyanya mengajak penonton merenungi kerapuhan ingatan dan hubungan emosional dengan masa lalu. Pameran ini dibuka untuk publik sampai dengan 7 Januari 2024 di Tirtodipuran Link Building B, Jl. Tirtodipuran №26, Yogyakarta. Jam buka pameran Senin — Jumat, 12:00–19:00, dan Sabtu & Minggu, 12:00–20:00. Jangan lewatkan kesempatan untuk meresapi keindahan karya-karya dari Aurora Santika, Hudan Seltan, dan Revaleka di pameran ini. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi akun Instagram @stemprojects Sumber: tanamtumbuh.medium.com  
Indonesian artists take spotlight in Singapore’s art market
Indonesian artists are thriving globally and gaining more attention from international art collectors. Art Works Singapore, one of the art galleries that has gone online as the result of the pandemic, reported that Indonesian arts make up 20% of its online sales so far.  Federico Tomasi - who has participated in many international art exhibitions, such as Art Loves New York and Biennale of Venice, Bagus Arti Maruta and Aurora Santika - a young aspiring female artist who collaborated with Disney, are the Indonesian artists who are featured at Art Works Singapore.  Indonesian arts’ distinctive style and specialities along with its highly-affordable price compared to arts from other countries are seen as the reasons behind their rising popularity in Singapore’s art market.  “Indonesian artists are showcasing their talent in their artistics works that are very much influenced from each of the artists’ individualism as well as the culture and situation surrounding them, presenting unique archetypes of Indonesian arts,” explained Troy Sadler, the co-founder of Art Works Singapore.  The growing significance of Indonesian artists in the global art market is in line with the country’s growth. Artists are producing more artworks with fresh characteristics, thanks to the changes they experience as the country keeps innovating.  The remarkable growth of the Indonesian economy over these past few years also affects the art market as a whole as demand for luxury assets, such as fine arts, continues growing. In addition, more people are now considering purchasing art as a form of financial investment. “Our company has seen an average of 20% to 25% capital gain annually in these past five years,” Sadler added. Sumber: tfr.news
32 Seniman Indonesia Tampilkan Karya-Karya Visual di Alila Seminyak Bali
Tahun 2020 akan berakhir. Harapan baru mulai menanti di tahun 2021. Namun, di situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya seperti saat ini, bukan berarti tak ada kesempatan yang bisa digunakan. Bahkan bagi Kita Art Friends dan para seniman lokal, momentum ini dgunakan untuk ciptakan karya yang penuh makna dan cerita. Pameran bertajuk 'Rasa' akan digelar pada 22 Desember 2020 hingga 24 Januari Januari 2021. Berlokasi di Alila Seminyak, Bali, dan menggandeng Savitri Sastrawan sebagai kurator dan Abdes Prestaka sebagai Art Director. Nantinya, sebanyak 32 seniman akan memamerkan karyanya. Mereka adalah; 1. Addy Debil 2. Adha Widayansah 3. Agung Dewantara 4. Aly Waffa 5. Arwin Hidayat 6. Anyon Muliastra 7. Aurora Santika 8. Bagus Ari Maruta 9. Dhanoe 10. Erianto 11. Gilang Fradika 12. Ismanto Wahyudi 13. Klowor Wardiyono 14. Lugas Syllabus 15. Made Wiradana 16. Marmar Herayukti 17. Mira El Amir 18. Monez 19. Nana Tedja 20. NPAAW 21. Nyoman Sujana Kenyem 22. Petek Sutrisno 23. Prihatmoko Moki 24. Rendy Raka Pramudya 25. Soni Irawan 26. Sulung Widya 27. Surya Subratha 28. Tempa 29. Ummi Damas 30. Valentino Febri 31. Vy Patiah 32. Wayan ‘Kun’ Adnyana Membawa Rasa Kembali dalam Kehidupan Menurut rilis yang diterima tim Fimela.com, Diangkatnya 'Rasa' sebagai tema ialah untuk membawa rasa kembali ke keseharian melalui karya seni yang dihadirkan oleh 32 perupa sehingga mampu mengunggah indra kita. Para seniman yang berpartisipasi datang dari beragam daerah di Indonesa, diantaranya dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Gresik, dan Bali. Karya tersebut akan mencerminkan beragam gaya perupa, dengan warna dan beragam medium. Karya yang dihadirkan juga sangat varatif. Beberapa diantaranya ekspresif dengan cat tebal. Atau ada juga yang bermakna dalam, mengajak kita mengarungi dunia fantasi. Kehadiran Kita Art Friends akan mempresentasikan dengan cara terkini untuk nikmati karya seni, dengan melihatnya secara animasi melalui teknologi augmented reality. Sedangkan Alila Seminyak sebagai tempat terselenggaranya pameran mampu menjadi tempat sempurna untuk mengeksplorasi 'Rasa' agar kita mampu melihat di sekeliling kita, menatap ke depan dan siap menghadapi jalan yang tak pernah sama. Sumber: fimela.com
Aurora Santika Depicts a Dream-Like Escape From a World Plagued By Social Injustice
“To live as a good person is to contribute goodness to other people, as best as one’s able to.” She may not be a superhero, but Aurora Santika is most definitely not a stranger to the innumerable adversities of this world. As one of many women in her generation battling the good fight against social inequality and injustice, this young and idealistic Indonesian artist is a force to be reckoned with. Armed with a robust familial support system, the happiest of childhood memories, keen observational skills, alongside an intricate understanding and unique outlook on her surroundings, Aurora Santika’s surreal depictions are indisputably grounded in truth and impossible to overlook. Aurora Santika Depicts a Dream-Like Escape From a World Plagued By Social Injustice (2020), Aurora Santika – A Vision of Mankind Triumphing Over Demise, (part of In Between Worlds series), AOC, 180 x 300 cm You were born in Bogor in 1996, you are now established in Yogyakarta and you have been studying Fine Arts at the Indonesian Institute of the Arts (Yogyakarta). Tell us more about your first steps as an artist? As a child, I didn’t care about being a professional artist. I was, bluntly put, a nerd. I spent my days reading about the mystery of nature, the gallant tales in history of mankind,  the wonders of science. That’s not to say that I had no artistic inclination. My parents were lenient enough to let me fill the house with  ‘decorative crafts’ which included temporary installations in their bed and a makeshift playhouse with painted cardboards in the living room. I did paint sometimes, and I managed to win a poster design competition in my hometown during middle school, but the rest of my teenage years was mostly focused in academics. I was in my final year of high school when I seriously considered art as a career option, to my dad’s dismay at the time. My sister and some of my parents’ friends (including the artist Hardi of Gerakan Seni Rupa Baru) helped assuring my parents enough to give me permission for applying to a Fine Art major at Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta in 2013. Hardi’s friend, the curator Mikke Susanto, guided me in polishing my skills for the entrance exam which I then passed. I learned a lot during my study in the Indonesian Institute of the Arts. In my second year, I joined the Tulang Rusuk community where I became acquainted with young female artists such as the Hasibuan sisters (Camelia and Reza Hasibuan), Harindarvati, Rika Ayu, and others with whom I have exhibitions together. At some point in college, I also began doing commissioned illustrations—an experience that, combined with my ever growing fondness for good novels, ballet symphonies, and comic books, was pivotal in shaping my visual style to be the way they are. However my professional career in fine art didn’t kick into gear until my solo exhibition “Breaking Through” in 2018. The show, curated by Suwarno Wisetrotomo and held in Taman Ismail Marzuki, later opened the path for me to participate in projects such as the collaboration with Disney Indonesia in 2019, collaboration with Ferial Affif and 8 other artists for Biennale Jogja XV, and several shows with Kohesi Initiatives. (2020), Aurora Santika – 5 Minutes Conversation With The Universe, (And Why There Can Never Be Peace), (part of In Between Worlds series), Acrylic on canvas, 180 x 150 cm You mentioned several times across past interviews “There are many reasons why a person create an art. For me, art is a way to communicate to other people what can’t be said or written or shown in any other way”. This is a strong statement, can you elaborate further? Art to me started out as a hobby, then a cry for help, and later a call for discussion. The last two have one thing in common: to deliver ideas that would push people into an action, whether that action is directed toward themselves, to me, or to others. If I could convey these ideas well and safely enough through everyday words or other communication mediums without them losing their intended effect, then there would be no need for me to bother creating art to begin with. Sometimes, there are ideas that would not be well received nor had much of a good impact unless they were delivered in subtlety due to the circumstances surrounding their birth and the environment in which they were to be published. Things like sexuality, critics on ideologies, and even bits of commentaries on the socio-economic dynamic within a society (which are also related to the aforementioned subjects) are generally difficult to be brought up without adding fuel into the fire. They require delicate handling. Art, which is not only limited to visual art, but also includes all kinds of artistic mediums, is a perfect instrument for that. On the other hand, there are ideas like personal encouragement to strive for the better that would mostly not be taken seriously unless they were delivered in a more implicit manner. As I personally experienced, sometimes it is more effective to motivate others (especially strangers) to keep going in life by having them enjoy a story of protagonists fighting adversaries rather than tapping their shoulders and saying, “Don’t give up.” (2017), Aurora Santika – Breaking Through, (part of the Paper Airplanes series), Acrylic on canvas, 120 x 100 cm Your art tackles social issues, particularly on the women’s side (rape, prostitution, couple). Your series are delivering powerful messages. Do you consider yourself an engaged artist? I speak from a woman’s perspective simply because I happen to be a woman, raised as an educated woman and dealing with woman-related problems. However that does not mean that I limit myself to specific topics only. While I do at times tackle issues like rape and prostitution that often involve women (and children), my main concern has always been humanity as a whole. I want to help people live a more fulfilled life by helping them be better in understanding themselves and the things that happen around them. A lot of the issues I address in my art are inspired by real life interactions with people who either act as perpetrator in said issues, fall victim to them, or are fighting their hardest to eliminate them. Whether that makes me an engaged artist or not… I think that’s for the public to decide. (2018), Aurora Santika – History Repeating Itself, (part the Snakes and Rabbits series), Acrylic on canvas, 100 x 100 cm Childhood memories, good and bad, are at the core of many of your series. Is this reflecting your personal introspection work? All of my works are practically born from contemplation and introspection since those are necessary in interpreting what I have observed of my surroundings, but I assume you were talking about specific works that particularly focused on childhood reminiscence. I see the majority of my childhood as happy times gone by, which is why I sometimes turn to it whenever I need to take a breather or when I simply miss my family. (2019), Aurora Santika – The Quest for Dawn, (part of In Between Worlds series), AOC, 120 x 100 cm How would you define your style? Surrealism + romanticism sprinkled with pop influences. The surrealistic and romantic aspect comes from my desire to create fictional stories set in a dream-like world that parallels the reality we are living in. The pop part has more to do with technicalities, as I often derive visual inspirations from products of popular culture. (2018), Aurora Santika – A Family Dinner, (part of Snakes and Rabbits series), Acrylic on canvas, 100 x 150 cm What is the role artists play in society? How do you view the current art scene in Indonesia? How important is the space given to artists in modern Indonesian society? I believe artists as human beings have responsibilities to bring improvement to their surroundings. My mom told me, “To live as a good person is to contribute goodness to other people, as best as one’s able to.” I have seen other artists do this, whether as individual or a collective. Taring Padi actively hold protests (through art campaigns) in defense of those exploited by capitalistic endeavours. A senior artist and an acquaintance of mine, Ayu Arista Murti, recently co-founded the collective Tactic Plastic and Galastica which focused on upcycling plastic waste into a body of art. Heri Dono, an even more senior artist, wittily speaks up about problems in our society, educating his audience through unique paintings and installations that heavily borrows elements from traditional Javanese culture such as wayang. I may not be in the level of these people yet, but I’m doing my best to contribute at my own pace. Regarding the current art scene in Indonesia, I see that there are many artists (emerging or established) and very few local galleries available to showcase them. While some artists—particularly illustrators—have taken this responsibility into their own hands to successfully promote their brand independently using social media, I still think that Indonesia needs more art-educated people with a heartfelt dedication to help artists with career management. More support (and encouragement) from the government would be great too. Art itself has been integrated in varying degrees into the life of many Indonesians (this might have something to do with a growing number of art graduates and the economic growth in recent decades) although contemporary art at times is still seen as a privilege to those in more developed regions. Despite this, a profession as an artist is still questioned to be a real job by a lot of people and I’ve had experiences being asked, “So what do you actually do for a living?”. (2020), Aurora Santika – summerwind #2, Gouache on paper, 21 x 29.7 cm The five words that best describe your art? Dramatic, human, narrative, analogous, dreamlike. (2020), Aurora Santika – Between the Heavens Wrath and the Underworlds Generosity, (part of In Between Worlds series), AOC, 180 x 300 cm In which city can we expect to see your next solo exhibition? I have plans with Kohesi Initiatives in Yogyakarta. The date is still in discussion, but probably sometime within the next two years. (2017), Aurora Santika – The Chainholder, the Pimp, (part the Snakes and Rabbits series), Acrylic on canvas, 120 x 120 cm Can you let our readers know which is your favourite art museum in Indonesia? Unfortunately I have been to galleries more often that I do to art museums. I can attest that the OHD museum in Magelang have good collections, but I’ve heard greater things about MACAN. I would love to check it out the next time I’m in Jakarta. (2019), Aurora Santika – Stormy Seas Outside, Deep Jungle Inside, (part of the Paper Airplane series), Watercolor, ink, on paper, 60 x 50 cm Where can we see some of you work online, are these for sale? You can check out my Instagram, and contact me should you need a thorough portfolio of available works, or visit Kohesi Initiatives’ website. For merchandises, check out Kita Art Friends’ page. (2019), Aurora Santika, “…of Crushed Dreams and a Leap of Faith”, mixed media, collaboration with Disney Indonesia for the release of Maleficent II: Mistress of Evil. If you were to name one mentor who has inspired you in your life and path as an artist, who would that be? I have to mention multiple people instead of one: My parents, Suwarno Wisetrotomo, a curator and my professor in college, Every other person who left an impact in my life—however little—be that other artists, my other professors, my friends, my favorite musicians and movie directors, great writers I admire, and even strangers I talk to in the streets Sumber: luxuo.com 
Disney’s Indonesia x 10 Indonesian Local Artist and Designers
A Special Art and Fashion Collaboration Inspired by Disney’s “Maleficent: Mistress of Evil” Siapa yang tidak mengenal sosok Maleficent yang diperankan sangat brilian oleh Angelina Jolie, dengan karakternya yang dark yet warm memukau semua penonton yang melihatnya. Film garapan Disney’s ini akan hadir kembali ke bioskop dengan sekuelnya yang berjudul “Maleficent: Mistress of Evil”. Robby Garsia & Atreyu Moniaga, Han Chandra, Nus Salomo, Andreas Odang, Imelda Kartini, Albert Yanuar, Aurora Santika, Anis Kurniasih, Dian Suci Rahmawati   Dan, menyambut perilisan film terbaru Disney’s “Maleficent: Mistress of Evil,” Disney Indonesia mengajak kesepuluh seniman dan desainer lokal, seperti Anis Kurniasih, Aurora Santika, Dian Suci Rahmawati, Nus Salomo, Han Chandra, Atreyu Moniaga dan Robby Garsia dari Proyek Atreyu Moniaga (AMP), Albert Yanuar, Andreas Odang, dan Imelda Kartini untuk menghadirkan deretan karya seni dan fashion show spesial yang bertema Saints, Evils and In Between: A Special Art and Fashion Collaboration Inspired by Disney’s “Maleficent: Mistress of Evil.” Yang sebelumnya diadakan konferensi pers sekaligus tur instalasi di North Space, Ground Floor, Senayan City pada 10 Oktober 2019 lalu. Foto atas: Andreas Odang, Imelda Kartini, Albert Yanuar Foto bawah: Nus Salomo, Han Chandra, Dian Suci Rahmawati, Aurora Santika, Robby Garsia & Atreyu Moniaga, Anis Kurniasih Disney’s “Maleficent: Mistress of Evil” merupakan sekuel dari film “Maleficent” yang sukses dirilis tahun 2014 silam. Dan ketujuh seniman lokal berbakat terpilih menciptakan karya- karya spesial yang menampilkan instalasi sayap ikonis Maleficent dalam berbagai desain. Masing-masing seniman menginterpretasi kisah Maleficent dalam instalasi yang mereka buat sehingga tercipta karya unik. Karya-karya tersebut ditampilkan di area spesial Disney’s “Maleficent: Mistress of Evil” bersama dengan beberapa instalasi menarik lainnya yang juga terinspirasi dari kisah ikonis tersebut, yang  lokasinya di North Space, Ground Floor, Senayan City Jakarta. Para pengunjung dapat mengunjungi area spesial tersebut mulai dari 10 Oktober hingga 3 November 2019. Andreas Odang Albert Yanuar Imelda Kartini Selain deretan instalasi unik, para pengunjung diperlihatkan sneek peek dari gaun yang akan ditampilkan Albert Yanuar, Andreas Odang, dan Imelda Kartini dalam  fashion show Saints, Evils and In Between: A Special Fashion Collaboration Inspired by Disney’s “Maleficent: Mistress of Evil”. Ketiga desainer akan menampilkan 24 look yang terinspirasi dari kisah dan karakter ikonis seperti Maleficent, Princess Aurora, dan karakter terbaru Queen Inggrith pada fashion show yang diadakan pada 24 Oktober 2019 pukul 17:30 – 18:00 WIB di Main Atrium Senayan City sebagai bagian dari rangkaian acara Jakarta Fashion Week 2020. Robby Garsia & Atreyu Moniaga  Anis Kurniasih Han Chandra Disutradarai oleh Joachim Rønning dengan naskah karya Linda Woolvertom , Disney’s “Maleficent: Mistress of Evil” bercerita perjalanan hubungan antara Maleficent (Angeline Jolie) dengan Aurora (Elle Fanning). Dalam perjalanan menemukan jawabannya, Aurora menemui berbagai kejadian yang tidak terduga. Disney’s “Maleficent: Mistress of Evil’ tayang di seluruh bioskop-bioskop di Indonesia pada 16 Oktober 2019. Aurora Santika Dian Suci Rahmawati Nus Salomo Sumber: SugarAndCream.co
Goresan Warna Perlawanan "Breaking Through" Karya Aurora Santika Pangastuti
Pengunjung melihat pameran lukisan tunggal seni rupa karya Aurora Santika Pangastuti di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Senin (19/2/2018). Mengangkat judul Breaking Through, pameran tunggal karya Aurora Santika Pangastuti mengangkat isu perlawanan terhadap kekerasan perempuan, pelecehan seksual, kemiskinan, kekerasan anak dan isu-isu sosial lainnya. Pameran yang berlagsung dari tanggal 19-25 Februari 2018 ini juga terdapat pesan agar masyarakat lebih peduli terhadap masalah-masalah sosial yang sering terjadi di lingkungan sekitar. Sumber: inews.id
Pameran Lukisan Breaking Through
Pelukis Aurora Santika (kanan) mendampingi Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kiri) pada acara pembukaan pameran lukisan tunggalnya bertajuk "Breaking Through", yang dikuratori oleh Suwarno Wisetratomo, di Galeri Cipta 2, TIM, Jakarta, Selasa (19/2) malam. Pameran Aurora Santika (22) mahasiswi seni lukis dari Institut Seni Indonesia (Jogjakarta) itu akan berlangsung hingga 25 Februari 2018.  Sumber: AntaraFoto
Rebut Dunia Perempuan, Aurora Santika Dinilai Menonjol dan "Liar"
Wakil Ketua DPR-RI, Fadli Zon, membuka pameran tunggal seni rupa bertajuk "Breaking Through" di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta, Senin (19/2) petang. DaIam kesempatan tersebut, Fadli yang juga seorang budayawan Indonesia memberikan apresiasi atas hasil karya pelukis muda 22 tahun, Aurora Santika Pangastuti. Sebanyak 23 lukisan hasil karya gadis keIahiran Bogor, 19 Juni 1996 dengan kurator maestro lukis Indonesia, Prof. Suwarno Wisetrotomo, dipamerkan dalam ajang yang digelar dari 19 Februari hingga 25 Februari 2018 mendatang. "Melihat 23 karya lukisan Ara dalam ‘Breaking Through’, saya sangat bergembira karena telah hadir satu pelukis perempuan muda yang memiliki tema menarik, dengan warna-warna menonjol dan liar," puji Fadli Zon. Menurutnya, Ara- panggilan Aurora Santika- berhasil merebut dunia perempuan dalam fantasi laki-laki yang lebih banyak menempatkan perempuan dari estetika tubuhnya, bukan pada persoalan kompleksitas kehidupannya. Bahkan dengan jeli Ara menangkap persoalan perempuan yang lebih kompleks, rumit dan kadang tak dipahami laki-laki. "Di sana ada kemiskinan, pelecehan seksual, keterasingan, penindasan, women trafficking, hingga kasus pernikahan anak," tuturnya. Menurutnya, 23 Iukisan Ara dalam "Breaking Through" menjadi penanda kegeIisahan perempuan di Indonesia. Keberpihakan Ara terlihat jelas daIam Iukisan-Iukisannya. "Ada keterpojokan pada perempuan. Situasi tertindas, pelecehan, hingga menjadi korban eksploitasi. Seni rupa sebagai media visual efektif menyampaikan pesan persoalan-persoalan perempuan ini dengan warna kaya dan sapuan Ientur," imbuhnya. Kehadiran Aurora Santika, jeIas Fadli, membawa energi dan harapan baru dalam perkembangan seni rupa Indonesia. "Tak hanya Ara berhasil membawa kompleksitas persoalan perempuan dalam lukisan-lukisannya, tapi ia juga telah menemukan identitas dirinya sebagai perupa perempuan generasi baru di barisan depan," ujarnya. Lalu kurator senior yang juga Dosen Program Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni Indonesia (ISI), Suwarno, menilai Aurora memiliki persyaratan yang dibutuhkan untuk menapaki jalan kesenian yang tidak mudah ini. Pergulatan yang sungguh-sungguh, disertai integritas, komitmen, dedikasi dan semangat menjelajah serta menerobos kekangan, adalah modal besar dan penting untuk menghadirkan diri di panggung pemikiran dan penciptaan seni rupa hari ini serta masa depan. "Pemeran kali ini menghadirkan debutan dan perempuan pelukis muda yang berani memilih profesi sebagai pelukis dan sangat berani dalam mengambil tema yang sangat serius yang jauh dari sederhana. Bagi saya, itulah modal yang besar bagi Ara menapaki rimba dunia seni rupa. Semangatnya untuk menerobos itulah yang tampak menyala," ujar Suwarmo yang pengamat seni lukis Indonesia sekaligus kurator Pameran "Breaking Through". "Melihat semangat, potensi dan karya-karyanya, saya dengan antusias menjadi teman diskusi, memilih karya-karyanya dan menulis untuk menyertai pameran tunggalnya ini. Saya merasa, Ara memiliki modal yang cukup baik untuk menghadirkan diri dalam percaturan seni rupa melalui gagasan dan karya-karyanya," tutur Suwarno. Sementara itu, seniman KP Hardi Danuwijoyo menyebut Aurora Santika sebagai perempuan yang mempunyai "hoki" besar. "Hoki besar tadi, saya kira yang membuat dia mudah melakukan aktivitas, dan berjodoh melakukan pameran di Taman Ismail Marzuki, di Gallery Cipta II untuk one man show. Suatu keberuntungan yang tak bisa dipungkiri, barangkali bisa membikin iri teman-teman pelukis seumur dia." terangnya. Karya Ara jelasnya bisa disebut neo-surrealism atau mudahnya disebut kontemporer. Yang dominan adalah dalam memilih subyek psikologis bertolak dari dirinya sendiri. Hal ini akan menimbulkan berbagai tafsiran "unik" dan juga bisa menjadi runtutan perjaIanan kisah tersendiri apabila mengikuti perkembangan lukisan-lukisan yang diciptakannya dari tahun ke tahun. "Saya kagum dengan dia ketika memiIih warna, yang otomatis menjadi ke khasannya, yaitu warna ultraviolet, ultramarine blue yang sangat dikuasai. Perpaduan warna yang digunakan oleh Ara, menciptakan kesan dan suasana "fantasi" layaknya di film atau game," urainya. Karya Ara Dukan sekedar pemberontakan menembus batas sebagai seniman muda, tetapi ada negasi terhadap persoalan aktual faktual yang terjadi di sekitarnya. "Sangat idealis, ia tidak terpengaruh oleh tuntutan pasar Iukisan yang sedang ngetren saat ini, melainkan dia berusaha untuk menciptakan pasarnya sendiri. Barangkali ia tak mau politik. Ia mencari dunianya sendiri yang nyaman bagi dirinya," ungkapnya. Di tempat yang sama, Aurora Santika mengatakan pameran tunggal berjudul "Breaking Through" ini merupakan Iangkah awal menapaki dunia profesionalitas seni rupa. Hal ini juga sekaligus perkenalannya dengan lingkaran seni rupa di Jakarta. "Saya harap karya-karya daiam pameran ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat penikmat seni di Jakarta serta dapat meramaikan wacana sepak terjang perupa perempuan di Indonesia," harapnya. Ara mengaku senang membuat karya yang menceritakan suatu kisah yang bermakna. Sebab karya seni yang baik adalah karya yang ‘bercerita’ dan dapat menginspirasi pengamatnya untuk berpikir serta berbuat kebaikan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Karenanya, kisah yang disampaikan melalui karya-karyanya merupakan kisah yang terinspirasi dari pengalaman hidup baik yang dialami sendiri secara langsung maupun diamati dari sudut pandang pihak ketiga. "Problematika seperti bullying dan hingga kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekitar menjadi tema yang penting bagi saya untuk diangkat menjadi karya seni Iukis," pungkasnya. Sumber: beritasatu.com
Scroll